Laman

Selasa, 02 Agustus 2011

REKONSTRUKSI ARAS LOKAL DALAM KONTEKS “JEJAK-JEJAK HISTORY OF MANGIR” BAGIAN 2 : PROFIL MANGIR

Mangir merupakan wilayah yang terletak di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini secara administratif terdiri dari 3 dusun yakni Dusun Mangir Lor, Dusun Mangir Tengah, dan Dusun Mangir Kidul. Mangir memiliki wilayah seluas kurang lebih 100 Ha. Wilayah Mangir berbatasan langsung dengan Sungai Progo yang membatasi dengan Kabupaten Kulon Progo. Batas wilayah Mangir itu sendiri adalah :
a. Utara : berbatasan dengan Dusun Jaten
b. Timur : berbatasan dengan Sungai Bedog yang membatasi pula dengan Dusun Ngentak Mangir (Kecamatan Pandak)
c. Selatan : berbatasan dengan tempuran (pertemuan) Sungai Bedog dan Sungai Progo sekaligus sebelah selatannya adalah Dusun Siyangan (Kecamatan Pandak)
d. Barat : berbatasan dengan Sungai Progo yang merupakan batas dengan Kabupaten Kulon Progo.
Wilayah Mangir berupa dataran rendah dan berada pada kawasan perdesaan di dalamnya masih terdapat banyak sumber daya alam seperti hasil sawah, kebun serta hasil alam dari sungai seperti ikan. Pohon-pohon besar seperti pohon kelapa, sengon, durian dan sebagainya masih banyak terdapat di kawasan ini. Sehingga keberadaannya pun banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Mangir. Pada dasarnya wilayah ini masih terdapat banyak lahan kosong yang merupakan pekarangan milik warga dan disimpan sebagai suatu kekayaan warga masyarakat.
Kawasan yang cukup sejuk ini juga memiliki sebuah situs sejarah yang konon merupakan peninggalan cerita Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Ada beberapa jejak peninggalan berupa Lingga Yoni, batu, kuburan, patung kebo, serta batu-bata bekas kerajaan yang dipercaya oleh masyarakat masih memiliki kekuatan magis.






Total penduduk dari Mangir Lor hingga Mangir Kidul kurang lebih berjumlah 1648 jiwa. Masyarakat Mangir memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan. Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai buruh tidak tetap dan tani. Namun ada pula yang bermata pencaharian di bidang lain seperti pedagang, swasta, PNS, TNI/POLRI, peternak, wiraswasta, dan usaha tradisional seperti penyadap pohon kelapa (nderes) sekaligus pembuat gula jawa. Mayoritas penduduk Mangir beragama Islam tetapi ada pula yang beragam Kristen sebanyak kurang lebih 14 orang. Meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam namun masyarakat tetap memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama yang lain. Terdapat sarana ibadah yang ada di Mangir yakni 1 buah masjid untuk 3 pedusunan dan beberapa mushola.
Dalam bidang pendidikan wilayah Mangir memiliki fasilitas pendukung seperti 1 buah gedung TK dan 1 buah gedung SD. Pengelolaan dewan sekolah diserahkan kepada 3 pedusunan yakni Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Sedangkan untuk data tingkat pendidikan sangat beragam dari yang tidak berpendidikan, putus sekolah, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Kondisi ekonomi masyarakat mangir dapat dikatakan masih berada dalam kondisi masyarakat yang menengah ke bawah. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah warga miskin di wilayah ini serta mata pencaharian penduduk masih banyak yang tidak tetap atau serabutan. Jumlah keluarga miskin di Dusun Mangir Lor sebanyak 32 keluarga, Mangir Tengah sebanyak 52 keluarga, Mangir Kidul sebanyak 33 keluarga.
Masyarakat Mangir masih erat dengan sifat tradisionalnya. Hal ini terbukti dengan masih dipercayanya beberapa kegiatan atau ritual-ritual tradisional yang mungkin di daerah lain sudah ditinggalkan. Contoh kegiatan tersebut misalnya tradisi suran (suro), obong-obong atau sesajen pada tempat-tempat atau benda tertentu yang dianggap keramat, serta kepercayaan pada mitos dan sebagainya. Hal itu terutama untuk kaum tua yang masih ada di Mangir itu sendiri. Melekatnya masyarakat pada sistem ini karena didasari pula oleh kepercayaan yang turun-temurun nenek moyang. Sifat tradisional yang masih melekat pada masyarakat Mangir tidak kemudian secara menyeluruh bertahan sampai saat ini. Masyarakat yang masih meneguhkan etos gotong royong atau sambatan juga mengalami perubahan sosial dan budaya di dalamnya. Hal ini terbukti dengan kondisi masyarakat yang sudah tidak gagap lagi dengan teknologi, pendidikan serta munculnya beberapa organisasi masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran masyarakat pun sudah mengalami perkembangan. Selain itu masih banyak kegiatan hajatan yang dilakukan oleh masyarakat dan dianggap tabu untuk ditinggalkan meskipun kebanyakan masyarakat lain sudah meninggalkan. Dapat dicontohkan untuk hajatan orang meninggal dari tujuh hari, 100 hari, 2 tahun (peling), dan 1000 hari. Tradisi hajatan pernikahan, kelahiran anak, membangun rumah, membuat sumur, membakar batu-bata (obong boto), dan masih banyak lagi kegiatan lain.
Mangir berbudaya, menjadi satu hal yang tidak dilepaskan dari karakter masyarakat Mangir. Dengan potensi panorama alam perdesaan yang menawan, orang-orang yang tinggal di kawasan ini memiliki potensi keterampilan budaya yang cukup besar. Kelompok reog, kelompok musik gamelan anak, kelompok musik campursari Banyu Bening Mangir Wonoboyo dan lain sebagainya merupakan aset-aset kesenian tradisional yang masih dilestarikan pada masyarakat ini.

Senin, 01 Agustus 2011

REKONSTRUKSI ARAS LOKAL DALAM KONTEKS “JEJAK-JEJAK HISTORY OF MANGIR” BAGIAN 1 : SEJARAH KI AGENG MANGIR

Ki Ageng Mangir meninggalkan sejarah melebihi mitos Kyai Baruklinting. Asmara Putri Pembayun, tragedi dan batu nisan kematiannya yang penuh misteri dan kontroversial.
(Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)

Mengawali tulisan ini menjadi perlu ketika mencoba untuk menapak tilas sejarah Ki Ageng Mangir. Hal ini karena tidak hanya cerita sejarah yang masih melekat sebagai sebuah story atau jejak seorang Ki Ageng Mangit itu sendiri, namun keberadaannya telah memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat Mangir hingga sampai saat ini.
(HEJ, 2011)

Napak Tilas Sejarah Ki Ageng Mangir
Cerita tentang Mangir tidak lepas dari keberadaan sebuah kerajaan yang bernama Mataram yang mengukir sejarah di Pulau Jawa. Sejarah Mangir tidak hanya berlangsung dalam satu abad kehidupan Ki Ageng Mangir Wonoboyo namun sudah sejak Ki Ageng Mangir I yang bernama Raden Megatsari (Putra Prabu Brawijaya V) yang hidup satu jaman dengan Raden Patah pendiri Kerajaan Islam Demak. Sebagai pemimpin desa, guru dan panutan rakyatnya ia menggunakan gelar Ki Ageng seperti pemuka desa lainnya di tanah Jawa pada abad 14 M dan 15 M.
Kebangkitan ki Ageng merupakan fenomena budaya yang mengikuti tuntunan para Walisongo . Komunitas penduduk desa di bawah Ki Ageng membangun kemerdekaan rakyat dari kungkungan yang menempatkan orang jawa sebagai manusia mitologi kasta sudra yang tidak sama dengan para raja dan bangsawan yang konon keturunan para dewa. Para walisongo dengan agama Islam membebaskan rakyat dari kungkungan ketidakadilan tersebut dengan kemerdekaan, persamaan hak dan kemandirian hidup di desa. Semua umat manusia adalah sama di hadapan Tuha Yang Maha Kuasa, yang membedakan adalah taqwanya.
Seperti itu pula rakyat Mangir di bawah Ki Ageng Mangir I (Raden Megatsari) dan seterusnya dibawah Ki Ageng Mangir II (wonoboyo I), Ki Ageng Mangir III (Wonoboyo II) dan KI Ageng IV (Wonoboyo III) selama hampir 150 tahun hidup dalam kebersamaan, kemandirian dan guyub rukun. Lebih dari itu bumu mangir tidak pernah mengalami campur tangan kekuasaan Majapahit, Demak maupun Pajang.

(Penggalan sinopsis buku Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)

Adapun "drama" tragedi yang menimpa Mangir dan Mataram melalui sosok Putri Pembayun putra Mataram yang dikirimkan Mataram untuk memikat hari Mangir dan kemudian membawanya untuk bertemu dengan sosok Mataram merupakan cerita yang banyak dikonstruksi oleh berbagai pihak. Keberadaan Mangir yang dikatakan tewas di tangan Mataram sebab Mangir tidak mau menyerahkan wilayahnya kepada Mataram atau sebuah kisah yang menyatakan bahwa Mangir tunduk pada keberadaan seorang Pembayun sehingga mau menyerahkan kekuasaannya atas Mangir kepada Mataram. Itu semua merupakan sebuah sejarah yang menimbulkan beberapa kontroversi. Sehingga keberadaannya kemudian seolah-olah ditutup. Wilayah pardikan yakni bumi Mangir itu sendiri padahal masih jelas nyata. Ada di sebuah wilayah dusun di Bantul, Yogyakarta yakni di sebuah pelosok Dusun Mangir, Sendangsari, Pajangan. Bukti-bukti peninggalan pun masih banyak. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa sejarah Mangir adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia.
(bersambung)




Referensi:
Tim Projotamansari,. 2008. Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul. Bantul: Yayasan Projotamansari

Minggu, 31 Juli 2011

YANG GILA YANG TAAT ATURAN ?

Peraturan dibuat untuk dilanggar?? Apakah demikian yang masih menjadi pemikiran beberapa warga masyarakat yang sering melewati kawasan daerah Jl. Srandakan Km.1 tepatnya di perempatan Jodog, Gilangharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Pemandangan yang cukup aneh ketika waktu itu saya pulang mudik rutin setiap sabtu sore dari rumah kos menuju rumah di salah satu pedusunan di wilayah Bantul. Ketika dari arah timur ingin berbelok ke arah barat laut karena terlihat traffight light di perempatan menyala dan berwarna merah, maka saya berhenti. Namun nyatanya justru pengguna jalan yang lain di belakang saya mengklakson saya untuk cepat-cepat segera berbelok ke arah barat laut dan justru dari mereka ada yang senyum-senyum sedikit menertawakan saya karena saya berhenti. Padahal jelas-jelas lampu menunjukkan kalau menyala warna merah. Heran saya apakah saya yang salah karena saya berhenti ataukah mereka yang memang tak mengindahkan lagi sebuah lampu pengatur lalu-lintas itu. Sehingga rasanya seperti menjadi orang gila ketika saya mematuhi rambu yang ada untuk berhenti ketika lampu merah, sedangkan pengguna jalan dibelakang saya justru menyalip saya dan seenaknya berbelok ke arah barat laut. Cerita lain waktu itu ketika kesempatan lain saya berjalan dari arah timur menuju barat laut pernah sekali waktu lampu hijau dan menandakan saya jelan terus, namun dari arah barat kok ternyata pengguna jalan terus. Sehingga saya hampir tertabrak. Saya heran lagi, masak dari arah barat lampunya juga hijau, itu sungguh mustahil. Artinya ternyata mau lampu menyala merah menandakan berhenti atau hijau menandakan pengguna jalan lain boleh terus dan kuning menandakan hati-hati, justru tidak lagi diindahkan pengguna jalan yang melanggar tersebut.
Berbeda ketika saya berangkat ke rumah kos kebetulan pagi hari kurang lebih jam setengah tujuh. Saya mencoba melewati daerah itu lagi dari arah barat laut. Namun ternyata pemikiran saya salah, para pengguna jalan semua menaati lampu lalu-lintas. Dan begitu saya amati ternyata ada Polisi yang berjaga-jaga pada pagi hari itu. Berulangkali terjadi demikian, ternyata memang menjadi sebuah kebiasaan masyarakat Ternyata setelah beberapa kali saya amati di pertigaan tersebut memang ketika pada pagi hari atau lebih tepatnya ada polisi yang berjaga, lampu lalau-lintas begitu ditaati oleh pengguna jalan. Dan ketika tidak ada polisi, pengguna jalan jarang sekali ada yang menaati lampu lalu-lintas apalagi ketika harus berhenti karena yang menyala warna merah. Apalagi mulai pada siang hari sampai malam hari. Mau menyala warna merah, kuning, hijau tetap saja masih tidak diindahkan oleh sebagian besar pengguna jalan. Tentunya bukan yang dari arah timur menuju barat, karena memang ada rambu-rambu yang berbunyi boleh jalan terus ketika merah menyala. Namun posisi-posisi yang seharusnya berhenti ketika lampu menyala warna merah, banyak sekali pengguna jalan yang tidak mengindahkan peraturan itu.
Entah apakah peristiwa semacam ini juga terjadi di daerah lain atau di kawasan jalan-jalan besar yang lain. Padahal kalau dipikir jalan itu cukup padat dan cukup rawan. Setiap hari pengguna jalan melewati daerah tersebut. Dengan kendaraan yang beraneka ragam mulai dari sepeda, becak, motor, mobil, bus, truk dan kendaraan besar lain yang cukup beragam jenisnya. Jalan itu menghubungkan antara Kabupaten Bantul dan Kulon Progo, selain itu jalan tersebut juga merupakan jalur alternatif menuju daerah Sedayu yang langsung tembus jalan Wates. Bahkan di daerah itu juga sering terjadi kecelakaan antara pengguna jalan.
Ketika melihat sebuah fakta bahwasanya peraturan lalu-lintas yang ada tidak diindahkan oleh masyarakat pengguna jalan sungguh sangat memprihatinkan. Secara fungsi sebuah norma atau aturan dan tata tertib dan dalam hal ini adalah peraturan hukum berlalu-lintas dibuat untuk meciptakan kondisi yang aman, nyaman, tertib untuk masyarakat. Tentunya bagi siapa saja yang melanggar seharusnya mendapat sanksi secara hukum. Hal yang sangat ringan untuk menaati peraturan lalu-lintas berupa keharusan untuk berhenti pada waktu lampu merah menyala saja masyarakat sudah cukup enggan. Bahkan yang ironis masyarakat tampak bangga ketika justru tidak berhenti dan berjalan terus. Ketika melihat pengguna jalan lain berhenti justru ditertawakan. Suatu keanehan yang tampaknya cukup biasa bagi mereka yang sering menganggap sepele untuk sekadar menaati lampu lau-lintas. Apa masyarakat tidak berpikir ketika akibat fatal bisa terjadi karena mereka tidak menaati lampu traffight light tersebut. Kecelakaan yang menyebabkan patah tulang, lumpuh, amnesia atau bahkan meninggal kalau memang itu kehendak Tuhan tentunya kapan saja bisa terjadi.
Ketika secara struktural fungsional dalam hal ini kita melihat secara fungsi dari aparat penegak hukum yakni polisi lalu lintas. Sebenarnya dalam hal ini juga fungsi dari keberadaan mereka dapat dikatakan belum maksimal. Masyarakat tentu akan lebih mengindahkan sebuah peraturan ketika memang secara tegas hal itu ditegakkan (kadang-kadang oknum petugas lalu lintas saja tidak berhenti ketika lampu merah). Kalau memang masyarakat belum memiliki kesadaran hukum maka perlu pembinaan dari petugas yang bertanggung jawab menangani permasalahan ini. Caranya tentu dapat secara preventif dan represif. Ketika belum terjadi pelanggaran-pelanggaran yang cukup berarti maka pencegahan itu perlu ditanamkan dan ketika memang sudah banyak terjadi pelanggaran lalu-lintas maka perlu diadakan pemulihan pada masyarakat. Melalui sosialisasi atau tindakan nyata seperti penilangan atau cara-cara yang seharusnya dilakukan oleh aparat kepolisian misalnya. Sehingga masyarakat juga tidak merasakan sangsi terhadap peraturan atau sanksi terhadap hukum yang ada. Bukan hanya sebagai sebuah peraturan berwujud simbolik yang tidak dipatuhi masyarakat.
Mungkin perlu juga secara konkret di daerah tersebut dibuat pos Polisi yang tentunya harapannya kemudian juga petugas yang berjaga tidak hanya ada topinya saja alias tidak ada penjaga di dalam pos dan hanya meninggalkan topi sebagai tanda ada petugas di sana, agar masyarakat mendapatkan perhatian hukum secara lebih jelas. Tentunya ketika ada pelanggaran-pelanggaran dapat segera ditindak dengan tilang atau cara-cara hukum yang seharusnya dilakukan oleh petugas.
Sehingga sebenarnya penyadaran hukum terhadap masyarakat dan aparat itu sendiri sangat perlu untuk ditegakkan. Tentunya kita tidak akan cukup bangga ketika suatu saat mendapati peristiwa-pertistiwa tragis kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatal. Hal ini juga mencerminkan sebuah bentuk karakter dari masyarakat. Apakah masyarakat itu sudah cukup sadar hukum., Tidak perlu muluk-muluk, dari menaati lampu lalu-lintas saja ternyata masyarakat masih belum begitu menyadari arti pentingnya. Apalagi peraturan hukum yang lain. Ironis, tapi inilah yang terjadi di sudut kecil Negara Indonesia. Cacat hukumkah atau cacat aparatnya atau cacat masyarakatnya. Menjadi PR siapa saja. Apa yang harus dikerjakan oleh masing-masing elemen masyarakat agar nantinya tercipta kondisi masyarakat yang aman, tenteram dan nyaman. Tentunya hal itu bisa diwujudkan dari pribadi masing-masing individu itu sendiri yang menyadari bahwasanya dirinya adalah bagian dari masyarakat yang seharusnya mampu melaksanakan apa yang sudah menjadi peraturan dalam masyarakat baik dalam bentuk nilai maupun norma sosial. Peraturan itu muncul dalam masyarakat karena untuk menciptakan kondisi masyarakat yang aman, nyaman, tertib dan tujuan masyarakat dapat tercapai. Hal ini membutuhkan dukungan dan partisipasi dari elemen-elemen masyarakat tanpa membedakan kalangan, kelas, jenis kelamin, dan lain sebagainya.