Laman

Senin, 01 Agustus 2011

REKONSTRUKSI ARAS LOKAL DALAM KONTEKS “JEJAK-JEJAK HISTORY OF MANGIR” BAGIAN 1 : SEJARAH KI AGENG MANGIR

Ki Ageng Mangir meninggalkan sejarah melebihi mitos Kyai Baruklinting. Asmara Putri Pembayun, tragedi dan batu nisan kematiannya yang penuh misteri dan kontroversial.
(Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)

Mengawali tulisan ini menjadi perlu ketika mencoba untuk menapak tilas sejarah Ki Ageng Mangir. Hal ini karena tidak hanya cerita sejarah yang masih melekat sebagai sebuah story atau jejak seorang Ki Ageng Mangit itu sendiri, namun keberadaannya telah memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat Mangir hingga sampai saat ini.
(HEJ, 2011)

Napak Tilas Sejarah Ki Ageng Mangir
Cerita tentang Mangir tidak lepas dari keberadaan sebuah kerajaan yang bernama Mataram yang mengukir sejarah di Pulau Jawa. Sejarah Mangir tidak hanya berlangsung dalam satu abad kehidupan Ki Ageng Mangir Wonoboyo namun sudah sejak Ki Ageng Mangir I yang bernama Raden Megatsari (Putra Prabu Brawijaya V) yang hidup satu jaman dengan Raden Patah pendiri Kerajaan Islam Demak. Sebagai pemimpin desa, guru dan panutan rakyatnya ia menggunakan gelar Ki Ageng seperti pemuka desa lainnya di tanah Jawa pada abad 14 M dan 15 M.
Kebangkitan ki Ageng merupakan fenomena budaya yang mengikuti tuntunan para Walisongo . Komunitas penduduk desa di bawah Ki Ageng membangun kemerdekaan rakyat dari kungkungan yang menempatkan orang jawa sebagai manusia mitologi kasta sudra yang tidak sama dengan para raja dan bangsawan yang konon keturunan para dewa. Para walisongo dengan agama Islam membebaskan rakyat dari kungkungan ketidakadilan tersebut dengan kemerdekaan, persamaan hak dan kemandirian hidup di desa. Semua umat manusia adalah sama di hadapan Tuha Yang Maha Kuasa, yang membedakan adalah taqwanya.
Seperti itu pula rakyat Mangir di bawah Ki Ageng Mangir I (Raden Megatsari) dan seterusnya dibawah Ki Ageng Mangir II (wonoboyo I), Ki Ageng Mangir III (Wonoboyo II) dan KI Ageng IV (Wonoboyo III) selama hampir 150 tahun hidup dalam kebersamaan, kemandirian dan guyub rukun. Lebih dari itu bumu mangir tidak pernah mengalami campur tangan kekuasaan Majapahit, Demak maupun Pajang.

(Penggalan sinopsis buku Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)

Adapun "drama" tragedi yang menimpa Mangir dan Mataram melalui sosok Putri Pembayun putra Mataram yang dikirimkan Mataram untuk memikat hari Mangir dan kemudian membawanya untuk bertemu dengan sosok Mataram merupakan cerita yang banyak dikonstruksi oleh berbagai pihak. Keberadaan Mangir yang dikatakan tewas di tangan Mataram sebab Mangir tidak mau menyerahkan wilayahnya kepada Mataram atau sebuah kisah yang menyatakan bahwa Mangir tunduk pada keberadaan seorang Pembayun sehingga mau menyerahkan kekuasaannya atas Mangir kepada Mataram. Itu semua merupakan sebuah sejarah yang menimbulkan beberapa kontroversi. Sehingga keberadaannya kemudian seolah-olah ditutup. Wilayah pardikan yakni bumi Mangir itu sendiri padahal masih jelas nyata. Ada di sebuah wilayah dusun di Bantul, Yogyakarta yakni di sebuah pelosok Dusun Mangir, Sendangsari, Pajangan. Bukti-bukti peninggalan pun masih banyak. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa sejarah Mangir adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia.
(bersambung)




Referensi:
Tim Projotamansari,. 2008. Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul. Bantul: Yayasan Projotamansari

3 komentar:

  1. matursuwon infonya
    salam lenal

    BalasHapus
  2. belum lama kemarin saya berkunjung ke mangir untuk mencari petilasan ki ageng mangir, tp yang saya dapati koq beda dengan poto yg ada di sini ya.. salam

    BalasHapus
  3. Artikel yang menarik, jangan lupa kunjungi juga blog aku dengan thema yang sama http://pembayun-mangir.blogspot.com/

    BalasHapus